Rabu, 02 Januari 2008

Menimang Timang Budaya Akademik

“Saya merasa susah kalo menerangkan sama anak-anak. Padahal segala cara sudah saya lakukan. Eh…. tetep saja nggak masuk-masuk. ….Bagaimana mungkin bisa berlari, disuruh beli buku saja susah. Ya terpaksa, model lama dalam belajar harus saya lakukan. Dikte dan mendikte terus materi pelajaran…. Sepertinya tidak ada semangat belajar gitu. Padahal materi yang saya ajarkan penting bagi para siswa. …. Aduh pak … jangan bicara disiplin, saya selalu sakit hati. Coba bayangkan pak, anak-anak selalu kesiangan. Ketika ditegur malah melawan….. Kalo mau ulangan, saya sudah beri tahu rambu-rambu materi yang akan dikeluarkan, eh.. tetep nilainya jeblok. Rieut pak ngawulang di swasta mah,”
“Alhamdulillah pak, kalau saya ngajar tinggal suruh baca, berdisksui, selesai. Ulanganpun tak usah repot-repot. Deretan angka 8 dan 9 bukan hal yang aneh. …Ya alhamdulillah juga, mereka pada antusias menerima materi yang saya ajarkan……Saya merasa tertantang dalam mengajar. Serasa kuliah lagi. Bagaimana tidak pak, pertanyaan siswa selalu aneh dan kritis. Ya sayapun harus membaca serius dulu sebelumnya……. Kami bahagia, sebab siswa kami selalu memperoleh nilai sempurna. Mereka diter ima di perguruan tinggi favorit,”

-----------
Ungkapan hati seperti itu kerap muncul dari sesama rekan guru dalam beberapa kesempatan pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan sewaktu mengawas Ujian Nasional. Banyak cerita nano-nano; manis, asem, asin, mengalir indah. Nuansa riil budaya KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) pun terungkap.
Rekan guru komunitas sekolah negeri umumnya membawa angin bahagia tentang proses KBM. Namun sebaliknya komunitas rekan guru swasta atau negeri pinggiran terkadang membawa suara hati kepiluan. Betapa susahnya menjalankan proses idealitas pendidikan. Seperti tercermin dalam ungkapan hati di atas, ada nuansa yang tampak beda. Meski tak semua sekolah seperti itu, gambaran tersebut menunjukkan suatu budaya akademik yang menyelimuti kultur nyata pelajar, guru, dan juga sistem sekolah antara sekolah negeri, swasta, dan negeri pinggiran.
Kenyataan tersebut merupakan problem riil dunia pendidikan. Tanpa bermaksud membuat jurang pemisah negeri dan swasta, harus diakui kultur negeri selalu dianggap lebih progres. Sementara swasta, meski memiliki kontribusi riil, selalu berada pada level dua.
Terdapat sejumlah hal yang menimbulkan nuansa tersebut, yakni pola Penerimaan Siswa Baru (PSB), pencitraan masyarakat, latar ekonomi dan lemahnya sistem.
Pertama, pola PSB. Sejak dekade akhir 1980-an hingga tahun 2007 kemarin, belum terciptakan rasa keadilan pola PSB bagi sekolah swasta. Masih terasa sikap mendua dari pengambil kebijakan dan juga komunitas sekolah negeri.
Ketika pemerintah menggulirkan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) tahun 1987, masuk sekolah negeri SMP/SMA/STM/SMEA (SMK) menggunakan pola bursa passing grade (PG) NEM (Nilai Ebtanas Murni). Pola ini terus dianut hingga tahun 2005 ini. Repotnya, dalam bursa NEM, pihak Dinas Pendidikan, masih mendikotomikan swasta – negeri dengan memilah pola pendaftaran, swasta tak pernah dilibatkan bersama. Praktis, swasta hanya kebagian siswa yang tidak diterima di sekolah negeri alias “buangan”..
Kenyataan tersebut telah mencipta mentalitet yang tidak sehat, baik dikalangan siswa, orang tua, dan juga masyarakat umum, bahkan guru. Sekolah negeri yang memiliki PG tinggi akan dicap sebagai sekolah favorit dan penuh gelimang prestasi. Sementara yang PG nya rendah --- bahkan untuk swasta tak pernah mengenal batas PG ---- masyarakat mencap sebagai sekolah ecek-ecek, tak berkualitas. Suatu asumsi yang menyakitkan.
Secara psikologis, siswa yang masuk sebuah sekolah dengan PG tinggi, memiliki mentalitet “pemenang”. Etos belajarpun meningkat. Apalagi dengan cap di masyarakat sebagai “siswa pandai” karena bersekolah di tempat favorit. Dan sebaliknya yang PG rendah siswa menyadari sebagai orang yang “kalah”.
Mentalitet seperti itu, diperkuat dengan budaya “masa depan”. Siswa di sekolah favorit boleh dikatakan 100% memiliki minat melanjutkan ke pendidikan tinggi/ universitas. Kompetisi belajarpun tinggi. Sebaliknya, sekolah non favorit, 10% lulusannya melanjutkan ke PT pun sudah bagus.
Salah satu ilustrasi bagaimana kualitas raw inpu berpengaruh terhadap proses adalah adanya komptesi Olimpiade. Delegasi olimpiade sains Kota Tasikmalaya adalah hampir semua wakil dari sekolah negeri. Hampir semua sekolah negeri mampu mengantarkan siswanya dalam olimpiade sains. Sementara sekolah swasta baru dua sekolah.
Sejak olimpiade menjadi trend parameter akademik, baru ada 3 sekolah swasta mampu menjadi delegasi olimpiade. Itupun dua sekolah berada di bawah naungan Depag, bukan disdik, Hanya satu sekolah yang berada di bawah naungan disdik. Ketiga sekolah tersebut yakni SMA Al Muttaqin, MA Persis Benda, dan MA Al Amin.

Yang menarik. dominasi satu sekolah negeri dan belum semua sekolah negeri mampu meloloskan delegasi. Faktor budaya akademik tampaknya menjadi penyebabnya. SMAN 1 mampu mendominasi, karena setiap siswa didalamnya telah terpatri sebagai siswa unggulan. Sehingga lahirlah suatu energi yang melejitkan prestasi.
Budaya belajarnyapun sungguh luar biasa. Dengan modal siswa-siswa cerdas, menurut pembimbing olimpiade di sekolah tersebut, mereka bisa bertahan belajar dari pagi hingga larut malam. Sebuah proses pembimbingan yang luar biasa dan sulit dikembangkan di sekolah non favorit.
Kenyataan tersebut, berbanding terbalik dengan kebanyakan sekolah. Seperti yang terungkap dalam curhat para guru yang diungkapkan di atas betapa susahnya menciptakan idealita pendidikan. Hal ini memperlihatkan betapa pengaruhnya PG terhadap budaya akademik sekolah..
Faktor kedua yang menyebabkan rendahnya budaya akademik adalah pola pikir negeri minded. Dalam alam fikir masyarakat umum dan masyarakat pendidikan jenjang SMP, sekolah negeri senantiasa unggul. Apapun dan bagaimanapun proses KBM di sekolah negeri adalah tetap dicitrakan positif.
Pencitraan tersebut terus tersosialisasikan antar generasi. Dalam kamus masyarakat terhadap definisi sekolah prestasi, maka hanya melekat pada sekolah tertentu. Akibatnya, seperti halnya pengaruh PG, telah menyebabkan rasa ketidakpercayaan terhadap kemungkinan-kemungkinan prestasi yang teraih “sekolah swasta dan pinggiran”. Adapun kalau lahir sebuah prestasi, dianggap sebuah faktor keberuntungan semata.
Secara adil, maka kita harus juga melihat kualitas budaya akadekim dari output sebuiah sekolah.
Memang, ternyata sekolah yang memiliki budaya akademik tinggi, mampu melloloskan banyak siswa ke universitas favorit.
Sebagai contoh adalah SMA Al Muttaqin. Meski sekolah ini baru meluluskan dua angkatan, namun lulusannya sudah mampu diterima di perguruang tinggi unggulan negeri ini,. Lulusan SMA Al Muttaqin sudah tercata di ITB, UGM, UI, UPI, Unpad, UNY, Undip dan sejumlah perguruan tinggi unggtulan lainnya.
Resepnya ?. Tak banyak, Yakni memunculkan budayua akademik sebagai sebuah budaya/ pembiasaan belajar.
Orientasi dari sekolah itu sendiri adalah kuncinnya. Disamping adalah pemeratan raw input sendiri.
PR besar bagi dunia pendidikan Kota Tasikmalaya meredefinisi aktualisasi budaya akademik, sehingga sekolah yang bagus tak tersentral pada satu sekolah saja. Dan yang terpenting adalah, sikap mental para pendidik untuk mewujudkan generasi berkualitas secara utuh dan bersama. ………

Rabu, 26 Desember 2007

Sejatinya Belajar Sejarah


Belajar sejarah ?. Ach biasa. Sejak pake baju putih merah hingga putih biru kita udah koq dapet pelajaran Sejarah. Paling ngapalin angka-angka tahun, kerajaan, atau yang berbau masa lalu, githu. Kuno kali !!!----------------------------


Ungkapan tersebut senantiasa meluncur mulus dari lubuk hati anak sekolahan ketika ditanya, ngapain juga ya kita belajar Sejarah ?. Hampir semua akan koor mengatakan seperti itu.Pelajaran sejarah memang bukan sesuatu yang baru. Sedikitnya, udah delapan tahun bagi siswa kelas 1 SMA menjumpai pelajaran sejarah sejak kelas 2 SD hingga 3 SLTP. Dan di SMA, genap tiga tahun bakal nongkrongin pelajaran Sejarah.
Seperti biasa, umumnya pelajaran ini selalu dianggap sebagai suplemen, alias pelajaran daripada ...... apa gitu. Sehingga banyak yang berkata kagak begitu ngeh dibuatnya.Ya, kita umumnya telah terperangkap pandangan pertama seperti itu. Pandangan pertama yang tidak membuat jatuh hati. Wajar kalo kemudian sejarah memiliki bobot biasa. Apalagi, ndak bisa nutup mata, sejumlah bahasan nantinya bakal ditemukan seakan mengulang-ulang materi yang pernah disampaikan selagi pakai baju putih biru.
So, kalo gitu apa pentingnya belajar sejarah ?. Apapula perbedaan belajar sejarah di SD, SLTP, dan SMA ?
Sejatinya, untuk tingkatan SD sejarah semata-mata ditujukan guna menanamkan rasa cinta kepada perjuangan, pahlawan, tanah air, dan bangsa.Untuk tingkat SLTP sejarah memunculkan sikap etis, yakni menanamkan pengertian bahwa kita hidup bersama orang, masyarakat, dan kebudayaan lain, baik yang dulu maupun yang sekarang.
Lalu, buat anak SMA?. Sesuai tingkatan usia yang lagi “mencari jejak masa depan” , bagi anak SMA sejarah itu musti digeluti secara kritis. Kita kudu faham suatu makna mengapa suatu peristiwa itu terjadi, apa sebenarnya yang telah terjadi, dan kemana arah kejadian-kejadian itu.Segala jejak peristiwa dimuka bumi sudah saatnya mulai kita cerna kausalitasnya, kita buat benang merah sabab musabab terjadinya suatu peristiwa, hingga membentuk suatu jembatan yang menghubungkan masa lalu - masa kini - masa depan.Memaknai SejarahMenurut para ahli, sejarah secara etimologis berasal dari bahasa Arab, syajarotun -- syajarah; bermakna pohon. Pohon memiliki makna pilosofis, patah tumbuh hilang berganti.
Coba kita bayangkan bagaimana terjadinya suatu pohon, rambutan misalnya. Berasal dari sebuah biji kemudian tumbuh tunas, menjadi tumbuhan, berdaun, membesar, tumbuh batang, ranting, daun, berbunga, kemudian berbuah.
Namun dalam rentang pertumbuhannya, tak semua daun merekah. Tak semua bunga menjadi buah. Tak semua buah menjadi matang. Tak semua buah matang berasa manis. Tak semua buah berasa manis tumbuh secara bersama.
Begitu pula dalam perjalanan hidup anak manusia. Semua akan tumbuh dan berkembang. Namun dalam alur perjalanannya, tak semua tumbuh dengan mulus. Selalu ada yang jatuh bangun. Mati satu tumbuh seribu Siapa kuat dia yang menikmati.
Karena itu, orang Yunani bilang history, historia, sejarah adalah catatan tentang orang pandai. Artinya, hanya orang yang pandai, mampu mengambil peran besar bagi masyarakatnya, akan dicatat tinta emas sejarah.
Dari makna filosofis seperti itu, sejarah itu ilmu kaya apa sich? DR. Kuntowijoyo, cendikiawan muslim sejarahwan UGM memberikan gambaran tentang sejarah. Menurutnya ada empat dimensi ilmu sejarah. (1) Sejarah ialah ilmu tentang manusia, ilmu yang mengkaji kehidupan manusia pada masa lalu. (2) Sejarah sebagai ilmu tentang waktu. Membicarakan tentang perkembangan, kesinambungan, pengulangan, dan perubahan yang dialami oleh ummat manusia. (3). Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial. (4) Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang tertentu, satu-satunya, dan terinci. Detail, unik,
Dengan dimensi yang luas itu, apa guna mempelajari sejarah?. Secara garis besar ada dua guna sejarah, yaitu guna intrinsik yakni bermanfaat bagi sejarah itu sendiri, dan guna ekstrinsik, yakni bermanfaat bagi penikmat/ pemakai sejarah.
Guna Instrinsik mencakup sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cara untuk mengetahui masa lalu, sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan sejarah sejarah sebagai profesi.Guna Ekstrinsik meliputi sejarah sebagai pendidikan moral, sejarah sebagai pendidikan penalaran, sejarah sebagai pendidikan politik, sejarah sebagai pendidikan kebijakan, sejarah sebagai pendidikan perubahan, sejarah sebagai pendidikan masa depan, sejarah sebagai pendidikan keindahan, sejarah sebagai ilmu bantu, sejarah sebagai latarbelakang, sejarah sebagai rujukan, dan sejarah sebagi bukti.
Gambaran pentingnya sejarah senafas dengan ajaran Islam. Bahkan 2/3 isi Alquran itu sendiri adalah sejarah. Kisah-kisah manusia masa lalu yang harus diambil ibrah-nya, dijadikan cermin sikap dan keteladanan yang harus dilakukan ataupun dilakukan untuk hidup lebih hidup dan bermanfaat masa kini dan masa datang.
Pentingnya mengambil kisah masa lalu, seorang ilmuwan muslim Ibn Khaldun yang banyak menulis tentang sejarah mengungkapkan, segala peristiwa dimuka bumi tunduk kepada suatu hukum perubahan, sunatullah, cakramanggiling. Artinya dari setiap peristiwa yang dialami ummat yang lalu akan terulang lagi walau tidak sama persis. Sebagai contoh dulu peradaban Islam merangkak, melangkah sampai berlari meninggalkan kemajuan IPTEKS bangsa Eropa yang sebelumnya telah maju. Saat Islam dipuncak kejayaan, masyarakat Eropa sedang mengalami “The Dark Age”. Namun kemudian peradaban Islam mundur, dan Eropa naik bahkan berlari kencang hingga sekarang.
Peristiwa itulah yang dikatakan Ibnu Khladun sebagai sebuah cakra manggiling. Karena itu, suatu ketika maka Islampun akan mencapai puncak kemajuan lagi.Menurut pandangan historis Ibnu Khaldun, kenyataan itu juga sebagai sebuah sunnah sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 137. Allah berfirman, sesunggguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat (yang ditimpakan) kepada orang-orang yang mendustakan Allah.
Ya, kemunduran perdaban Islam salah satunya karena memang sebagian besar ummat pada waktu itu tidak mau lagi tunduk dan taat kepada perintah Alloh melalui Alquran dan As Sunnah.Arti penting Alquran sebagai pedoman sejarah tertulis jelas didalam QS Ali Imran 138. Allah berfirman, Ini (Al Quran) merupakan penjelasan bagi manusia dan sebagai petunjuk dan nasehat bagi orang-orang yang bertaqwa.
Selanjutnya, didalam surat Yusuf 111 Alloh juga berfirman, Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat engajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Didalam QS Hud 120 ......dan semua kisah (rasul rasul kami) ceritakan padamu ialah kisah kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.
***
Dari uraian di atas, jelas khan betapa penting belajar sejarah itu?. Jadi kalo mau jujur, belajar sejarah sesungguhnya adalah belajar meneladani perilaku manusia masa lalu.Setiap desah nafas kita adalah perjalanan sejarah hidup kita. Karenanya, memaknai sejarah bukan belajar kerajaan melulu. Tetapi, bagaimana akhlaq, perilaku, dan hidup kita menjadi lebih baik, itu belajar sejarah sesungguhnya.

Selasa, 25 Desember 2007

Menuai Hasil Belajar di Sekolah


Bagaikan air di daun talas. Setumpuk materi pelajaran yang diajarkan di sekolah nyaris tak berbekas. Tiga sampai enam tahun dipelajari, begitu tamat, materi pelajaran berlalu begitu saja .

----------------------

Tiga tahun lamanya dengan pakaian putih biru, Dedi begitu serius mempelajari sejumlah pelajaran. Sehingga tak heran iapun mampu menembus SMU favorit yang diinginkannya. Jurus baru belajarpun ia terapkan. Wajar bila kemudian deretan angka 7, 8, dan bahkan 9 mewarnai raportnya.

Dedi sosok pelajar yang terbilang rajin dan cerdas. Sayang karena ekonomi keluarganya yang pas-pasan, impian menikmati dunia pendidikan tinggi tak sempat dialami. Mencari pekerjaan akhirnya menjadi alternatif yang mau tidak mau harus dijalaninya. Namun apa boleh buat, deretan nilai 8 pada pelajaran Kimia, Biologi, Sejarah, Fisika, Tatanegara, dan Antropologi tak mampu menolongnya untuk lolos di dunia kerja. Dedi hanya bisa mengelus dada. “Apalah artinya nilai 8 kalau untuk mencari kerja saja sulit,” gerutu Dedi.

Gambaran tersebut, dialami oleh Dedi lainya. Begitu lulus dari dunia pendidikan, seakan tak ada pelajaran yang bisa menolongnya. Masih beruntung bagi siswa yang hobi pelajaran Matematika, Agama Islam atau Bahasa Inggris. Kemampuan logikanya terasah. Sehingga tak canggung menghadapi ruwetnya persaingan kerja, dan kehidupan nyata di masyarakat.

Namun, bagi mereka yang kurang begitu antusias mempelajari beragam pelajaran disekolah, aneka warna mata pelajaran hanya menjadi tmupukan “sampah” pengetahuan di “keranjang” otak. Tak bisa didaur ulang. Padahal, secara ideal beragam mata pelajaran yang diajarkan tersebut, mampu memacu siswa untuk bisa mengubah pola laku dan pola pikirnya kelak dikemudian hari.

Fenomena kurang atau bahkan tidak bermanfaatnya sejumlah pelajaran di sekolah, menurut , merupakan kenyataan pahit proses pendidikan selama bertahun-tahun.

Materi pelajaran yang diajarkan pada dasarnya sudah memiliki orientasi dan kriteria khusus sesuai tingkat kebutuhan. Setiap kurun waktu tertentu ada evaluasi. Hanya saja kalau fenomena dewasa ini seakan banyak muatan pelajaran tak berbekas, itu adalah adanya penafsiran yang berbeda dari orientasi sekolah.

Orientasi pendidikan SMA lebih menekankan kepada proses pendidikan yang berkelanjutan. Ilmu yang dipelajari di SMA itu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Bukan untuk langsung kerja. Lain halnya dengan SMK.

Pembaharuan dalam orientasi pendidikan SMA sudah mutlak. Jangan sampai pendidikan SMA hanya sebuah lintasan formal pemberian pelajaran tanpa memberikan wawasan baru yang berimbas kepada perilaku dan keterampilan hidup.

Saat ini, salah satu kelemahan bagi pengembangan kualitas pendidikan terletak kepada kompetensi pendidikan guru sendiri. Karena itu, langkah awal penerapan kurikulum yang ideal dibarengi dengan peningkatan kualitas tenaga pengajar itu sendiri adalah mutlak.

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan) sebagai model pengembangan kurikulum sejak tahun 2006, memberikan arah dan gerak yang lebih pasti guna meningkatkan kualitas pendidikan. Terdapat sejumlah kebebasan berkepresi guru –tentu dengan rambu-rambu kualitas secara nasional-, yang bias dikembangkan dalam pendidikan.

Maka, idealnya pendidikan akan maju ketika ketersadaran akan hakikat pendidikan terimplemantasikan oleh para guru dengan ruh KTSP.

Dengan demikian, setiap anak didik yang terlahir dari sentuhan semangat idealita pendidikan para guru, akan terbebas dari ketidakjelasan hasil studi. Sebab, makna dari pendidikan itu sendiri pada dasarnya adalah bagaimana mencipta generasi yang lebih baik sebagai pelanjut perjuangan umat bangsa menuju arah yang lebih. baik

Senin, 24 Desember 2007

Menuntaskan Pemahaman Sekolah

Oleh: Insan Ihsan

Enam tahun disekolah dasar, tiga tahun di SLTP, tiga tahun di SMA, dan mungkin juga enam tahun dibangku kuIiah. Itu adalah jenjang pendidikan formal yang dikenal dinegeri ini. Lalu, apakah itu ?

Pemahaman masyarakat terhadap pendidikan terperangkap dalam penyebutan kaku, formal, dan seringkali kosong. Atau, kalau tidak begitu, terjebak pada pandangan sekolah hanya sebuah ritual hidup. Cuma fase yang harus dilalui dalam sejarah linier seorang manusia. Dengan kata lain sekolah hanya untuk rnengisi waktu luang, bersenang­senang di masa muda, sebelum turun ke masyarakat. Itu thok I. Tidak ada pemaknaan lain yang lebih eerdas dan bernas terhadap sekolah sebagai tanda (sign) tingginya peradaban.

Jika ada pemaknaan yang maju, itu tak hanya sekedar jargon "belajar pangkal pandai" yang cenderung dipaksakan.

Akhirnya inilah Indonesiakita. Staie de Manque, kata Clifford Greezt. Carut marut, ruwet, dan selalu terserimpit padaa batu yang sama yang diakibatkan oleh polah sendiri.

Pendidikan sekolah mulanya memang dimaksudkan sebagai bagian dari proyek pencerahan (aufklarung). Ia diharapkan menjadi wadah pencerahan yang mendewasakan. Membebaskan manusia dari ketergantungan otoritas luar dirinya, temtama terhadap sistem yang menindas dan mengasingkan.

Tapi, rupanya pendidikan bukanlah sesuatu yang netral. Bukan pula suatu tanda untuk pencerahan. Pendidikan justru menjadi alat bagi kelas yang berkuasa untuk menanamkan ideologinya. Ada hidden agenda (agenda terselubung) yang ditentukan kurikulum oleh negara untuk menciptakan budaya bisu.

Pendidikanpun ditanamkan dengan sistem pendidikan gaya bank, murid hanyalah obyek. Ia pasif dan hanya menerima gagasan. Masih banyak antagonisme pendidikan gaya bank ini: guru mengajar, murid mendengar: murid belajar, guru bicara, guru tahu segalanya murid tak tahu apa.apa.

Pandangan Islam

Hamid Hasan Bilgramil dan Said Ali Ashraf mengatakan, dalam koridor Islam pendidikan dipandang sebagai unity of god (tauhid) yang terfeleksikan dari semua segi kehidupan dan mengitegrasikan watak suci dan profan. Artinya, setiap individu (pelajar) muslim harus memahami bahwa kerangka berfikir dalam konteks apapun harus difahamai sebagai tugas khaliufatu1lah, mencari ridho Allah; menegakkan setidi-sendi universal­ism Islam sebagai sebuah agama.

Untuk itu, .sedikititya ada tiga karakteristik dunia pendidikan Islam, Yakni (I') ta 'zim: mencintai kehormatan dari wujud kebenaran Islam. (2) adab: menghormati dan menghargai nilai-nilai Islam, (3) tamil: bersedia untuk tunduk pada misi dan jiwa' Isllam

Ketiga karakteristik tersebut, bukan sebatas sebuah dogma. Melainkan sebuah proses pemahaman terhadap intuisi kebenaran dalam jaring-jaring kehidupan dunia.

Format Pendidikan Sekolah

Seorang sosiolog barat Randall Collins, mengungkapkan ada tiga tipe dasar pendidikan di dunia bailk yang bersifat dogma keagamaan maupun sekuler.

(1) Pendidikan keterampilan praktis. Pendidikan ini didasarkan kepada suatu bentuk pengajaran guru magang (master apperentice) seperti mengajarkan baca tulis (lit­eracy) .

(2) Sistem pendidikan kelompok status. Berfungsi untuk memberi arti "pada status kelompok sosial. Pendidikan ditujukan untuk tujuan simbolisasi dan memperkuat prestise dan hak-hak previlege kelompok elit dalam masyarakat yang memiliki sistem pelapisan sosial.

(3) Sistem pendidikan birokrasi. Ditujukan untuk merekrut orang-orang yang akan duduk di dalam pemerintahan dan mendisiplitikan massa agar memenuhi tuntuitan politik pemerintah. Tipe pendidikan ini pada umumnya memberikan penekanan pada ujian, syarat kehadiran, peringkat, dan derajat.

***