Rabu, 02 Januari 2008

Menimang Timang Budaya Akademik

“Saya merasa susah kalo menerangkan sama anak-anak. Padahal segala cara sudah saya lakukan. Eh…. tetep saja nggak masuk-masuk. ….Bagaimana mungkin bisa berlari, disuruh beli buku saja susah. Ya terpaksa, model lama dalam belajar harus saya lakukan. Dikte dan mendikte terus materi pelajaran…. Sepertinya tidak ada semangat belajar gitu. Padahal materi yang saya ajarkan penting bagi para siswa. …. Aduh pak … jangan bicara disiplin, saya selalu sakit hati. Coba bayangkan pak, anak-anak selalu kesiangan. Ketika ditegur malah melawan….. Kalo mau ulangan, saya sudah beri tahu rambu-rambu materi yang akan dikeluarkan, eh.. tetep nilainya jeblok. Rieut pak ngawulang di swasta mah,”
“Alhamdulillah pak, kalau saya ngajar tinggal suruh baca, berdisksui, selesai. Ulanganpun tak usah repot-repot. Deretan angka 8 dan 9 bukan hal yang aneh. …Ya alhamdulillah juga, mereka pada antusias menerima materi yang saya ajarkan……Saya merasa tertantang dalam mengajar. Serasa kuliah lagi. Bagaimana tidak pak, pertanyaan siswa selalu aneh dan kritis. Ya sayapun harus membaca serius dulu sebelumnya……. Kami bahagia, sebab siswa kami selalu memperoleh nilai sempurna. Mereka diter ima di perguruan tinggi favorit,”

-----------
Ungkapan hati seperti itu kerap muncul dari sesama rekan guru dalam beberapa kesempatan pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan sewaktu mengawas Ujian Nasional. Banyak cerita nano-nano; manis, asem, asin, mengalir indah. Nuansa riil budaya KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) pun terungkap.
Rekan guru komunitas sekolah negeri umumnya membawa angin bahagia tentang proses KBM. Namun sebaliknya komunitas rekan guru swasta atau negeri pinggiran terkadang membawa suara hati kepiluan. Betapa susahnya menjalankan proses idealitas pendidikan. Seperti tercermin dalam ungkapan hati di atas, ada nuansa yang tampak beda. Meski tak semua sekolah seperti itu, gambaran tersebut menunjukkan suatu budaya akademik yang menyelimuti kultur nyata pelajar, guru, dan juga sistem sekolah antara sekolah negeri, swasta, dan negeri pinggiran.
Kenyataan tersebut merupakan problem riil dunia pendidikan. Tanpa bermaksud membuat jurang pemisah negeri dan swasta, harus diakui kultur negeri selalu dianggap lebih progres. Sementara swasta, meski memiliki kontribusi riil, selalu berada pada level dua.
Terdapat sejumlah hal yang menimbulkan nuansa tersebut, yakni pola Penerimaan Siswa Baru (PSB), pencitraan masyarakat, latar ekonomi dan lemahnya sistem.
Pertama, pola PSB. Sejak dekade akhir 1980-an hingga tahun 2007 kemarin, belum terciptakan rasa keadilan pola PSB bagi sekolah swasta. Masih terasa sikap mendua dari pengambil kebijakan dan juga komunitas sekolah negeri.
Ketika pemerintah menggulirkan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) tahun 1987, masuk sekolah negeri SMP/SMA/STM/SMEA (SMK) menggunakan pola bursa passing grade (PG) NEM (Nilai Ebtanas Murni). Pola ini terus dianut hingga tahun 2005 ini. Repotnya, dalam bursa NEM, pihak Dinas Pendidikan, masih mendikotomikan swasta – negeri dengan memilah pola pendaftaran, swasta tak pernah dilibatkan bersama. Praktis, swasta hanya kebagian siswa yang tidak diterima di sekolah negeri alias “buangan”..
Kenyataan tersebut telah mencipta mentalitet yang tidak sehat, baik dikalangan siswa, orang tua, dan juga masyarakat umum, bahkan guru. Sekolah negeri yang memiliki PG tinggi akan dicap sebagai sekolah favorit dan penuh gelimang prestasi. Sementara yang PG nya rendah --- bahkan untuk swasta tak pernah mengenal batas PG ---- masyarakat mencap sebagai sekolah ecek-ecek, tak berkualitas. Suatu asumsi yang menyakitkan.
Secara psikologis, siswa yang masuk sebuah sekolah dengan PG tinggi, memiliki mentalitet “pemenang”. Etos belajarpun meningkat. Apalagi dengan cap di masyarakat sebagai “siswa pandai” karena bersekolah di tempat favorit. Dan sebaliknya yang PG rendah siswa menyadari sebagai orang yang “kalah”.
Mentalitet seperti itu, diperkuat dengan budaya “masa depan”. Siswa di sekolah favorit boleh dikatakan 100% memiliki minat melanjutkan ke pendidikan tinggi/ universitas. Kompetisi belajarpun tinggi. Sebaliknya, sekolah non favorit, 10% lulusannya melanjutkan ke PT pun sudah bagus.
Salah satu ilustrasi bagaimana kualitas raw inpu berpengaruh terhadap proses adalah adanya komptesi Olimpiade. Delegasi olimpiade sains Kota Tasikmalaya adalah hampir semua wakil dari sekolah negeri. Hampir semua sekolah negeri mampu mengantarkan siswanya dalam olimpiade sains. Sementara sekolah swasta baru dua sekolah.
Sejak olimpiade menjadi trend parameter akademik, baru ada 3 sekolah swasta mampu menjadi delegasi olimpiade. Itupun dua sekolah berada di bawah naungan Depag, bukan disdik, Hanya satu sekolah yang berada di bawah naungan disdik. Ketiga sekolah tersebut yakni SMA Al Muttaqin, MA Persis Benda, dan MA Al Amin.

Yang menarik. dominasi satu sekolah negeri dan belum semua sekolah negeri mampu meloloskan delegasi. Faktor budaya akademik tampaknya menjadi penyebabnya. SMAN 1 mampu mendominasi, karena setiap siswa didalamnya telah terpatri sebagai siswa unggulan. Sehingga lahirlah suatu energi yang melejitkan prestasi.
Budaya belajarnyapun sungguh luar biasa. Dengan modal siswa-siswa cerdas, menurut pembimbing olimpiade di sekolah tersebut, mereka bisa bertahan belajar dari pagi hingga larut malam. Sebuah proses pembimbingan yang luar biasa dan sulit dikembangkan di sekolah non favorit.
Kenyataan tersebut, berbanding terbalik dengan kebanyakan sekolah. Seperti yang terungkap dalam curhat para guru yang diungkapkan di atas betapa susahnya menciptakan idealita pendidikan. Hal ini memperlihatkan betapa pengaruhnya PG terhadap budaya akademik sekolah..
Faktor kedua yang menyebabkan rendahnya budaya akademik adalah pola pikir negeri minded. Dalam alam fikir masyarakat umum dan masyarakat pendidikan jenjang SMP, sekolah negeri senantiasa unggul. Apapun dan bagaimanapun proses KBM di sekolah negeri adalah tetap dicitrakan positif.
Pencitraan tersebut terus tersosialisasikan antar generasi. Dalam kamus masyarakat terhadap definisi sekolah prestasi, maka hanya melekat pada sekolah tertentu. Akibatnya, seperti halnya pengaruh PG, telah menyebabkan rasa ketidakpercayaan terhadap kemungkinan-kemungkinan prestasi yang teraih “sekolah swasta dan pinggiran”. Adapun kalau lahir sebuah prestasi, dianggap sebuah faktor keberuntungan semata.
Secara adil, maka kita harus juga melihat kualitas budaya akadekim dari output sebuiah sekolah.
Memang, ternyata sekolah yang memiliki budaya akademik tinggi, mampu melloloskan banyak siswa ke universitas favorit.
Sebagai contoh adalah SMA Al Muttaqin. Meski sekolah ini baru meluluskan dua angkatan, namun lulusannya sudah mampu diterima di perguruang tinggi unggulan negeri ini,. Lulusan SMA Al Muttaqin sudah tercata di ITB, UGM, UI, UPI, Unpad, UNY, Undip dan sejumlah perguruan tinggi unggtulan lainnya.
Resepnya ?. Tak banyak, Yakni memunculkan budayua akademik sebagai sebuah budaya/ pembiasaan belajar.
Orientasi dari sekolah itu sendiri adalah kuncinnya. Disamping adalah pemeratan raw input sendiri.
PR besar bagi dunia pendidikan Kota Tasikmalaya meredefinisi aktualisasi budaya akademik, sehingga sekolah yang bagus tak tersentral pada satu sekolah saja. Dan yang terpenting adalah, sikap mental para pendidik untuk mewujudkan generasi berkualitas secara utuh dan bersama. ………

Tidak ada komentar: