Selasa, 25 Desember 2007

Menuai Hasil Belajar di Sekolah


Bagaikan air di daun talas. Setumpuk materi pelajaran yang diajarkan di sekolah nyaris tak berbekas. Tiga sampai enam tahun dipelajari, begitu tamat, materi pelajaran berlalu begitu saja .

----------------------

Tiga tahun lamanya dengan pakaian putih biru, Dedi begitu serius mempelajari sejumlah pelajaran. Sehingga tak heran iapun mampu menembus SMU favorit yang diinginkannya. Jurus baru belajarpun ia terapkan. Wajar bila kemudian deretan angka 7, 8, dan bahkan 9 mewarnai raportnya.

Dedi sosok pelajar yang terbilang rajin dan cerdas. Sayang karena ekonomi keluarganya yang pas-pasan, impian menikmati dunia pendidikan tinggi tak sempat dialami. Mencari pekerjaan akhirnya menjadi alternatif yang mau tidak mau harus dijalaninya. Namun apa boleh buat, deretan nilai 8 pada pelajaran Kimia, Biologi, Sejarah, Fisika, Tatanegara, dan Antropologi tak mampu menolongnya untuk lolos di dunia kerja. Dedi hanya bisa mengelus dada. “Apalah artinya nilai 8 kalau untuk mencari kerja saja sulit,” gerutu Dedi.

Gambaran tersebut, dialami oleh Dedi lainya. Begitu lulus dari dunia pendidikan, seakan tak ada pelajaran yang bisa menolongnya. Masih beruntung bagi siswa yang hobi pelajaran Matematika, Agama Islam atau Bahasa Inggris. Kemampuan logikanya terasah. Sehingga tak canggung menghadapi ruwetnya persaingan kerja, dan kehidupan nyata di masyarakat.

Namun, bagi mereka yang kurang begitu antusias mempelajari beragam pelajaran disekolah, aneka warna mata pelajaran hanya menjadi tmupukan “sampah” pengetahuan di “keranjang” otak. Tak bisa didaur ulang. Padahal, secara ideal beragam mata pelajaran yang diajarkan tersebut, mampu memacu siswa untuk bisa mengubah pola laku dan pola pikirnya kelak dikemudian hari.

Fenomena kurang atau bahkan tidak bermanfaatnya sejumlah pelajaran di sekolah, menurut , merupakan kenyataan pahit proses pendidikan selama bertahun-tahun.

Materi pelajaran yang diajarkan pada dasarnya sudah memiliki orientasi dan kriteria khusus sesuai tingkat kebutuhan. Setiap kurun waktu tertentu ada evaluasi. Hanya saja kalau fenomena dewasa ini seakan banyak muatan pelajaran tak berbekas, itu adalah adanya penafsiran yang berbeda dari orientasi sekolah.

Orientasi pendidikan SMA lebih menekankan kepada proses pendidikan yang berkelanjutan. Ilmu yang dipelajari di SMA itu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Bukan untuk langsung kerja. Lain halnya dengan SMK.

Pembaharuan dalam orientasi pendidikan SMA sudah mutlak. Jangan sampai pendidikan SMA hanya sebuah lintasan formal pemberian pelajaran tanpa memberikan wawasan baru yang berimbas kepada perilaku dan keterampilan hidup.

Saat ini, salah satu kelemahan bagi pengembangan kualitas pendidikan terletak kepada kompetensi pendidikan guru sendiri. Karena itu, langkah awal penerapan kurikulum yang ideal dibarengi dengan peningkatan kualitas tenaga pengajar itu sendiri adalah mutlak.

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan) sebagai model pengembangan kurikulum sejak tahun 2006, memberikan arah dan gerak yang lebih pasti guna meningkatkan kualitas pendidikan. Terdapat sejumlah kebebasan berkepresi guru –tentu dengan rambu-rambu kualitas secara nasional-, yang bias dikembangkan dalam pendidikan.

Maka, idealnya pendidikan akan maju ketika ketersadaran akan hakikat pendidikan terimplemantasikan oleh para guru dengan ruh KTSP.

Dengan demikian, setiap anak didik yang terlahir dari sentuhan semangat idealita pendidikan para guru, akan terbebas dari ketidakjelasan hasil studi. Sebab, makna dari pendidikan itu sendiri pada dasarnya adalah bagaimana mencipta generasi yang lebih baik sebagai pelanjut perjuangan umat bangsa menuju arah yang lebih. baik

1 komentar:

pendekar galuh mengatakan...

bagus bang....!! teruslah berkarya.